Mengapa Ali Sadikin Melegalkan Perjudian Di Jakarta?
Keputusan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin untuk me-legalisasi perjudian pada era 1960-an hingga 1970-an tetap menjadi salah satu kebijakan paling kontroversial sekaligus paling dikenang dalam sejarah pembangunan ibu kota. Di mata sebagian besar masyarakat, khususnya kelompok agama, langkah ini adalah noda hitam. Namun, bagi Ali Sadikin sendiri, keputusan itu adalah wujud pragmatisme ekstrem yang dilandasi oleh kebutuhan mendesak untuk membangun Jakarta yang kala itu masih jauh dari citra megapolitan modern.
Jakarta di Bawah Ali Sadikin: Antara Kemiskinan dan Ambisi Pembangunan
Ketika Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1966, ia mewarisi sebuah kota yang penuh tantangan. Jakarta saat itu adalah kota yang miskin, kumuh, dan minim fasilitas publik. Infrastruktur kacau, layanan dasar buruk, dan anggaran daerah sangat terbatas. Di sisi lain, Ali Sadikin memiliki visi besar: mengubah Jakarta menjadi ibu kota yang modern, bersih, dan layak huni, yang dapat berfungsi sebagai etalase bagi Indonesia.
Namun, visi itu terbentur pada realitas finansial yang pahit. Anggaran dari pemerintah pusat sangatlah minim, tidak cukup untuk membiayai ambisius pembangunan yang ia canangkan. Kebutuhan akan dana untuk membangun jalan, sekolah, rumah sakit, fasilitas olahraga, hingga pusat kesenian menjadi sangat mendesak.
Pragmatisme sebagai Jalan Keluar: “Mengambil Sari dari Lumpur”
Dalam situasi yang serba terbatas itulah, Ali Sadikin dikenal sebagai sosok yang berani mengambil keputusan-keputusan tidak populer demi mencapai tujuan. Ia percaya bahwa untuk membangun Jakarta, dibutuhkan sumber dana yang non-konvensional. Frasa terkenalnya, “Kita tidak mengambil sari dari madu, tapi sari dari lumpur,” mencerminkan filosofi ini. Baginya, perjudian yang sudah ada dan beroperasi secara ilegal di Jakarta adalah “lumpur” yang bisa “diambil sarinya” untuk kemaslahatan kota.
Berikut adalah alasan-alasan utama yang melatarbelakangi legalisasi perjudian oleh Ali Sadikin:
- Mendapatkan Sumber Dana Pembangunan: Ini adalah alasan paling fundamental. Ali Sadikin melihat perjudian sebagai “pajak sukarela” yang dapat ditarik dari masyarakat, khususnya dari mereka yang memang sudah berjudi. Dengan melegalkannya, pemerintah kota bisa mengawasi dan memungut pajak dari kegiatan tersebut. Dana yang terkumpul ini kemudian digunakan untuk membiayai proyek-proyek vital seperti:
- Pembangunan dan perbaikan jalan
- Pembangunan sekolah dan rumah sakit
- Pembangunan sarana olahraga (misalnya, Stadion Lebak Bulus)
- Pendirian Pusat Kesenian Jakarta (Taman Ismail Marzuki/TIM)
- Perbaikan transportasi publik
- Dan berbagai proyek infrastruktur lainnya.
- Mengontrol dan Mengurangi Dampak Negatif: Ali Sadikin berargumen bahwa perjudian sudah ada dan sulit diberantas sepenuhnya dalam kondisi ilegal. Dengan melegalkannya, pemerintah bisa lebih mudah mengawasi, mengontrol, dan membatasi penyebarannya. Perjudian dilegalkan di lokasi-lokasi tertentu dan di bawah pengawasan ketat, bukan dibiarkan menyebar luas tanpa kendali seperti saat ilegal. Ini juga memungkinkan pemerintah untuk mengidentifikasi dan memberikan sanksi kepada praktik-praktik ilegal yang tidak berizin.
- Mengakui Realitas Sosial: Meskipun dilarang, perjudian adalah bagian dari realitas sosial di Jakarta yang sulit dihilangkan. Daripada membiarkannya bersembunyi di bawah tanah dan menciptakan “ekonomi gelap” tanpa kendali, Ali Sadikin memilih untuk mengangkatnya ke permukaan agar dapat diatur dan dimanfaatkan untuk kepentingan publik.
Kontroversi dan Akhir Sebuah Kebijakan
Tentu saja, keputusan ini menuai kritik pedas dari berbagai kalangan, terutama dari ulama dan organisasi keagamaan. Mereka melihatnya sebagai bentuk legalisasi dosa yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral. Namun, Ali Sadikin tetap pada pendiriannya, berpegang teguh pada hasil konkret pembangunan yang dapat dinikmati masyarakat Jakarta.
Meskipun sukses dalam mengumpulkan dana pembangunan, era legalisasi perjudian ini tidak berlangsung selamanya. Setelah kepemimpinan Ali Sadikin berakhir, tekanan dari kelompok masyarakat dan perubahan iklim politik menyebabkan legalisasi perjudian dihapuskan kembali. Perjudian kembali masuk ke ranah ilegal, meskipun praktik-praktiknya terus berlanjut secara sembunyi-sembunyi hingga saat ini.
Warisan Pragmatisme
Kebijakan Ali Sadikin tentang perjudian adalah studi kasus menarik tentang etika dan pragmatisme dalam pemerintahan. Ia memilih jalan yang kontroversial, tetapi dengan tujuan yang jelas: membangun Jakarta. Warisan kebijakannya tetap diperdebatkan hingga kini, namun tak bisa dimungkiri, sebagian dari infrastruktur dan wajah modern Jakarta saat ini memiliki benang merah dengan keputusan “mengambil sari dari lumpur” yang berani diambil oleh Ali Sadikin.